Perang Mujahideen dan Penguasa Melawan Republik Demokratik Afghanistan (1978-1979)

Peristiwa yang terjadi di Afghanistan antara tahun 1978 dan 1979 merupakan masa penuh ketegangan dan konflik yang menandai awal perjuangan rakyat Afghanistan melawan kekuasaan pemerintah komunis yang didukung oleh Uni Soviet. Di tengah pergolakan politik dan sosial, muncul kekuatan-kekuatan perlawanan dari kalangan Mujahideen yang berjuang untuk menegakkan identitas dan kepercayaan tradisional mereka, berhadapan dengan kekuatan penguasa yang otoriter dan agresif. Artikel ini akan mengulas secara mendalam berbagai aspek dari periode tersebut, mulai dari latar belakang politik dan sosial, peristiwa penting, peran internasional, hingga dampaknya terhadap rakyat Afghanistan dan perkembangan konflik hingga akhir tahun 1979.


Latar Belakang Politik dan Sosial Afghanistan Tahun 1978

Pada tahun 1978, Afghanistan mengalami ketidakstabilan politik yang mendalam yang dipicu oleh ketidakpuasan terhadap pemerintah monarki yang sudah berkuasa selama berabad-abad dan ketidakadilan sosial yang meluas. Pemerintahan Raja Zahir Shah yang telah berkuasa selama puluhan tahun digulingkan melalui kudeta militer yang dipimpin oleh Partai Demokratik Afghanistan (PDPA), yang berideologi komunisme. Pergantian rezim ini menandai awal era baru yang penuh ketegangan dan konflik ideologi di negara tersebut.

Revolusi Saur pada 27 April 1978 menjadi titik balik utama, di mana PDPA menguasai kekuasaan secara resmi dan memperkenalkan kebijakan reformasi radikal yang bertujuan mengubah struktur sosial dan ekonomi Afghanistan. Program nasionalisasi tanah, pendidikan sekuler, dan penghapusan tradisi keagamaan konservatif memicu resistensi dari berbagai lapisan masyarakat, terutama kalangan konservatif dan kelompok agama yang merasa terancam oleh perubahan tersebut. Kondisi ini memperlihatkan adanya ketegangan antara kekuatan modernisasi dan tradisionalisme yang mendalam di Afghanistan.

Selain faktor politik, kondisi sosial Afghanistan juga mengalami tekanan hebat. Ketimpangan ekonomi yang tajam, kemiskinan meluas, dan ketidakadilan dalam distribusi sumber daya menyebabkan rakyat semakin frustrasi dan merasa terpinggirkan. Pemerintah yang baru berkuasa seringkali menggunakan kekerasan dan intimidasi untuk menegakkan kebijakan mereka, yang memperburuk rasa ketidakpuasan dan menciptakan basis perlawanan yang semakin meluas. Konflik sosial ini menjadi salah satu pemicu utama munculnya kelompok-kelompok Mujahideen yang menentang pemerintahan komunis.

Secara internasional, situasi Afghanistan menjadi semakin kompleks. Negara-negara tetangga dan kekuatan besar seperti Uni Soviet dan Amerika Serikat mulai memperhatikan perkembangan di sana, karena Afghanistan dianggap sebagai arena penting dalam perang ideologi Perang Dingin. Ketegangan internal dan ketidakstabilan politik membuat Afghanistan menjadi negara yang rawan konflik dan penuh ketidakpastian, yang kemudian memicu campur tangan dari kekuatan luar yang bermaksud mempengaruhi arah politik dan kekuasaan di negara tersebut.

Dalam kerangka ini, masyarakat Afghanistan berada di persimpangan jalan, antara keinginan mempertahankan tradisi dan agama mereka serta tekanan dari reformasi radikal yang diusung oleh pemerintah komunis. Ketegangan ini menjadi fondasi dari konflik yang akan berlangsung selama beberapa tahun ke depan, menandai awal perjuangan rakyat melawan kekuasaan yang dianggap menindas dan asing.


Ketegangan antara Mujahideen dan Pemerintah Komunis Kabul

Ketegangan antara Mujahideen dan pemerintah komunis Kabul mulai muncul secara nyata sejak tahun 1978, seiring dengan meningkatnya perlawanan dari berbagai kelompok masyarakat yang menentang reformasi radikal dan kekerasan yang dilakukan oleh rezim PDPA. Kelompok-kelompok ini berjuang untuk mempertahankan nilai-nilai keagamaan dan tradisional mereka yang dianggap terancam oleh kebijakan sekuler dan modernisasi yang dipaksakan oleh pemerintah baru.

Mujahideen, yang berarti "pejuang agama" dalam bahasa Arab, merupakan gabungan dari berbagai kelompok dan suku yang menolak dominasi pemerintah komunis. Mereka menentang penghapusan sistem keagamaan, pelarangan praktik keagamaan tradisional, serta kebijakan nasionalisasi dan pendidikan sekuler yang dianggap mengikis identitas keislaman mereka. Ketegangan ini memuncak dalam bentuk konflik sporadis dan serangan-serangan terhadap aparat pemerintah yang dianggap menindas dan mengekang kebebasan beragama dan berbudaya.

Pemerintah Kabul merespons perlawanan ini dengan tindakan keras, termasuk penangkapan, intimidasi, dan penindasan brutal terhadap kelompok-kelompok yang dianggap melawan. Kekerasan dan ketegangan yang meningkat menyebabkan situasi di lapangan menjadi semakin tidak stabil. Pemerintah berusaha menegakkan kekuasaan melalui kekuatan militer, sementara Mujahideen beroperasi secara gerilya dan kerap melakukan serangan terhadap pasukan pemerintah maupun fasilitas umum yang dianggap simbol kekuasaan komunisme.

Perlawanan Mujahideen tidak hanya bersifat militer, tetapi juga melibatkan aspek sosial dan keagamaan. Mereka mendapatkan dukungan dari kalangan masyarakat yang merasa terpinggirkan dan khawatir kehilangan identitas keislaman mereka. Dukungan ini memperkuat daya tahan kelompok perlawanan, sehingga konflik semakin memanas dan memperluas wilayah kekuasaan mereka di berbagai daerah di Afghanistan, terutama di daerah pegunungan dan desa-desa terpencil.

Ketegangan ini juga dipicu oleh ketidakpercayaan antar pihak dan ketidakpastian mengenai masa depan Afghanistan. Pemerintah berusaha menegaskan kekuasaan mereka melalui kekerasan, sementara Mujahideen terus memperkuat perlawanan mereka dengan berbagai strategi yang mengandalkan keberanian dan dukungan rakyat. Situasi ini menempatkan Afghanistan dalam kondisi darurat yang memunculkan ketegangan berkepanjangan dan membuka jalan bagi intervensi asing.


Peristiwa Kudeta Saur yang Mengubah Situasi Nasional

Kudeta Saur, yang berlangsung pada bulan April 1978, merupakan peristiwa penting yang mengubah wajah politik Afghanistan secara drastis. Kudeta ini dilakukan oleh kelompok militer yang didukung oleh Partai Demokratik Afghanistan (PDPA), yang berhasil merebut kekuasaan dari rezim monarki yang sudah mapan. Keberhasilan kudeta ini menandai berakhirnya era kerajaan dan membuka babak baru dalam sejarah negara tersebut yang penuh konflik dan ketegangan.

Setelah kudeta, pemerintahan baru yang dipimpin oleh PDPA segera melaksanakan reformasi besar-besaran yang bersifat radikal dan sekuler. Mereka memperkenalkan kebijakan nasionalisasi tanah, pendidikan sekuler, dan penghapusan institusi keagamaan yang dianggap menghambat modernisasi. Kebijakan ini, meskipun didukung oleh sebagian kalangan elit dan kelompok sekuler, menimbulkan ketidakpuasan luas di kalangan masyarakat yang konservatif dan religius.

Selain itu, kudeta Saur menimbulkan ketegangan internal di dalam PDPA sendiri, karena adanya perbedaan pandangan antara faksi-faksi yang berbeda dalam partai tersebut. Ketegangan ini kemudian memuncak dalam konflik internal yang mempersulit stabilitas pemerintahan baru dan memperlemah posisi mereka dalam menghadapi perlawanan rakyat yang semakin meluas. Ketidakstabilan ini memperparah kondisi nasional yang sudah rapuh akibat konflik ideologi dan sosial.

Peristiwa ini juga menarik perhatian kekuatan asing, terutama Uni Soviet, yang melihat peluang untuk memperluas pengaruhnya di kawasan tersebut. Dukungan Soviet terhadap pemerintah baru semakin menguat, yang kemudian memicu reaksi dari negara-negara Barat dan tetangga Afghanistan. Kudeta Saur menjadi titik awal dari konflik berkepanjangan yang melibatkan kekuatan internasional dan memperumit situasi nasional.

Di tingkat rakyat, kudeta ini memicu ketidakpercayaan dan ketakutan akan masa depan. Banyak warga yang merasa bahwa perubahan ini justru menimbulkan kekerasan dan ketidakpastian, serta mengancam keberlangsungan kehidupan mereka. Ketegangan ini menjadi salah satu faktor yang mendorong munculnya perlawanan dari berbagai kelompok Mujahideen dan masyarakat adat yang menentang kekuasaan baru tersebut.


Peran Uni Soviet dalam Dukungan terhadap Pemerintah Afghan

Uni Soviet memainkan peran sentral dalam mendukung pemerintah komunis Afghanistan sejak awal kudeta Saur. Dukungan ini berupa bantuan militer, ekonomi, dan politik yang bertujuan memastikan kekuasaan rezim PDPA tetap bertahan di tengah tekanan dari berbagai kelompok perlawanan dan ketidakstabilan internal. Soviet melihat Afghanistan sebagai bagian dari pengaruh strategis mereka di kawasan Asia Selatan dan Tengah, sehingga campur tangan mereka menjadi semakin intensif.

Dalam periode 1978-1979, Soviet mengerahkan pasukan dan perlengkapan militer untuk memperkuat posisi pemerintah Kabul. Mereka menyediakan pelatihan, senjata, dan peralatan militer kepada pasukan Afghan yang mendukung rezim komunis. Selain itu, Uni Soviet juga mengirim penasihat militer dan ahli strategi untuk membantu pemerintah Afghanistan dalam mengelola konflik internal dan memperkuat kekuasaan mereka.

Dukungan Soviet tidak hanya terbatas pada aspek militer, tetapi juga meliputi bantuan ekonomi dan pembangunan infrastruktur. Mereka membantu pemerintah dalam pembangunan jalan, fasilitas militer, dan proyek-proyek ekonomi yang bertujuan memperkuat basis kekuasaan dan mengurangi ketergantungan Afghanistan terhadap kekuatan asing lainnya. Namun, dukungan ini juga menimbulkan ketegangan dengan negara-negara tetangga dan kekuatan Barat yang menentang ekspansi Soviet.

Peran Soviet dalam konflik ini menyebabkan keteg